Pride Indonesia - Universitas
Semarang menyelenggarakan kegiatan seminar tentang LGBT dengan tema “Kupas
Tuntas LGBT” yang membahas LGBT dalam perspektif Pergerakan LGBT yang diisi
oleh Oriel Calosa dari Rumah Pelangi Indonesia, Sosiologis oleh Bapak Amri P
Sihotang, S.H, M.Hum, Psikologis oleh Ibu Fitria S.Psi, M.Psi, dan pembahasan
dari sisi Hukum dan HAM yang disampaikan oleh Dr Muhammad Junaidi S.Hi, M.H.
Oriel menyampaikan materi tentang
Sejarah Pergerakan LGBT di Dunia dan di Indonesia memaparkan bagaimana LGBT
memulai pergerakan dan membangun komunitas yang didasarkan dari perasaan
senasib sepenanggungan yang diawali dari proses memahami Gender dan
Seksualitasnya lalu berkumpul membentuk sebuah Lembaga yang diberi nama Rumah
Pelangi Indonesia. Sejarah panjang disampaikan bagaimana pergulatan pro dan
kontra mengenai teori yang terkait LGBT sudah ada sejak Tahun 1700-an saat LGBT
pertama kali disebutkan oleh Karl Maria Kertbeny bahwa seksualitas manusia itu
terdiri dari tiga kelompok yaitu Heteroseksual, Homoseksual dan Heterogen
–heterogen adalah interaksi seksualitas diluar homoseksual dan heteroseksual
seperti interaksi seksual dengan hewan.
Saat itu, teori yang mendukung LGBT
juga disampaikan melalui Ebing yang menyatakan bahwa seseorang yang homoseksual
memiliki perkembangan otak yang berbeda lalu di sempurnakan oleh Magnus
Hirscfeld dalam bukunya “Sappho and Socrates” yang mengungkapkan bahwa
mereka yang homoseksual lahir dan besar dengan struktur otak yang berbeda
dengan heteroseksual. Lalu berkembang teori Kinsey pada 1948 yang mengungkapkan
bahwa seksualitas manusia itu sangat spesifik bahwa homoseksualitas terjadi
dengan berbagai latar belakang yang lintas kelas, pendidikan, wilayah dan
keluarga dan mematahkan anggapan bahwa seseorang menjadi homoseksual karena
pola asuh dan menyampaikan statmen bahwa walaupun seorang homoseksual berusaha
menyembuhkan dirinya sebenarnya tidak pernah bisa sembuh, yang ada hanyalah
mengelola fantasi homoseksual (merepres perilaku homoseksual) untuk berhubungan
seks dengan pasangan lawan jenisnya dari pernyataan ini Kinsey pun mengakui
bahwa homoseksual bukan sesuatu yang bisa disembuhkan.
Lalu pada tahun era 1940 – 1960
terjadi kepanikan masal dan merebaknya homophobia yang bukan hanya melakukan
penangkapan, penutupan bar-bar yang disinyalir sebagai tempat berkumpulnya Gay
dan bahkan menutup usaha-usaha yang dimiliki oleh Gay termasuk melakukan
penangkapan dan penjebakan pada mereka yang menjadi pegawai negeri dan juga
terjadi pada militer.
Hingga akhrinya peristiwa Stonewall
menjadi pematik terhadap gerakan massif kelompok Gay untuk melakukan perlawanan
politik dengan membuat aksi-aksi perlawanan. Dan era paska Tragedi Stonewall
menjadikan para ilmuwan juga mulai merubah cara berfikir dan melakukan
penelitian tentang homoseksualitas hingga pada akhirnya pada 1973 Homoseksual
secara resmi keluar dari Gangguan Jiwa.
Dari segi sosiologis, disampaikan
bahwa LGBT dianggap sebagai ancaman saat ini oleh masyarakat karena LGBT
dipandang sangat meresahkan dan merong-rong tatanan masyarakat sosial yang
dianggap sebagai masyarakat Indonesia yang menjujung tinggi moralitas ketimuran
yang diasarkan atas perpetif demokrasi pancasila sebagai landasan berfikir
masyarakat yang menganggap bahwa LGBT sebagai ancaman serius terhadap pancasila
itu sendiri.
Namun,
tatanan masyarakat bisa berubah karena LGBT sendiri selama ini menutup diri dan
saat ini mulai berani menunjukkan eksistensinya di masyarakat namun butuh waktu
yang sangat panjang untuk bisa menjadikan masyarakat mampu menerima keberadaan
LGBT sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.
Dari
sisi LGBT dalam kacamata Hukum dan HAM menyampaikan bahwa sesuai dengan
penegasan yang diberikan oleh Dicey bahwa sebutan lainya untuk Negara hukum
yang berdasarkan kedaulatan hukum adalah “Rule
of Law” dan masih menurut paham Dicey unsure dari Rule of Law adalah Equality
before the law yang artinya bahwa setiap manusia mempunyai kedudukan hukum
yang sama dan mendapatkan perlakuan yang sama, Supermacy of law yaitu bahwa kedudukan tertinggi terletak pada
hukum dan Hak asasi Manusia tidak bersumber pada Undang-Undang Dasar (Moh
Kusnadi dan Bintan R Saragih, 1994;93).
Pendapat
Dicey di atas menjadi salah satu ukuran yang baku bahwa keberadaan dan
kehadiran Negara terhadap masyarakatnya dengan adanya dan terjaminya nilai
dasar Hak Asasi Manusia. Hak Dasar tersebut yang disebut dari Hak Asasi Manusia bahkan tidak terlahir dari
sebuah nilai hak asasi manusia, akan tetapi dia bersumber dari sebuah ekologi
masyarakat yang telah terstruktur dengan baik.
Pendapat
yang sama juga disampaikan oleh Jj. Rousseau. Di Prancis muncul sebuah buku
yang berjudul Du Contract Social
karya Jj. Rousseau. Dalam buku iniRousseau mengatakan “Manusia itu lahir bebas
dan sederajat dalam hak-haknya, sedangkan hukum merupakan ekspresi dan kehendak
umum (Rakyatnya)”. Tesis Rousseau ini sangat menjiwai De Declaration des Droit de I’Honime et du Citoyen, karena
deklarasi inilah yang mengilhami pembentukan Konstitusi Prancis (1791) kususnya
yang menyangkut hak-hak asasi manusia.
Berbeda
halnya dengan A Mukthie Fajar yang mengartikan konstitusionalisme sebagai
sebuah paham meliputi prinsip kedaulatan rakyat, Negara hukum, pembatasan
kekuasaan, perlindungan dan jaminan Hak Asasi Manusia dan Pluralisme. Secara
teoritis, terdapat sejumlah motif yang dapat dipandang sebagai dasar perlunya
konstitusi. Salah satu yang sa gat menonjol adalah keinginan untuk menjamin
hak-hak asasi rakyat dan mengendalikan kekuasaan Negara. Motif sesungguhnya
bertolak dan pemahaman bahwa Negara, seperti dikatakan oleh Weber merupakan
“Lembaga” yang ebrhasil memiliki monopoli hukum untuk menggunakan memaksakan
kekuasaanya pada pihak lain disuatu daerah tertentu (Jazim Hamidi dan Malik,
2009;14-15)
Berangkat
dari arti dan makna tersebut, maka Negara harus menempatkan LGBT sebagai bentuk
kusus dalam spekulasi hukum. LGBT harus menjadi wadah dari karakteristik
kelompok masyarakat yang sudah sejatinya dapat perlindungan yang tegas. Namun
bukan berarti memberikan kebebasan akan tetapi memberikan ruang hak-hak yang
selama ini sudah terasa dimakzulkan mengingat telah terjadi doktrin makna anti
norma oleh kelompok mayoritas yang berkembang yang melihat LGBT sebagai wabah
yang harus didiskriminasi keberadaanya.
0 comments :
Post a Comment