Photo by The Guardian |
Pride Indonesia - Kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) mengklaim bertanggung
jawab atas aksi penembakan massal yang terjadi di sebuah klub malam di
Orlando, Pulse Club pada Minggu dini hari, 12 Juni. Klaim itu
disampaikan melalui sebuah aplikasi pesan pendek Telegram dan tidak
tertulis si pengirim.
"Serangan yang menyasar sebuah klub malam bagi kaum homoseksual di
Orlando, Florida, dan menyebabkan lebih dari 100 orang mati dan terluka
dilakukan oleh seorang pejuang ISIS," ujar kelompok tersebut dan
disebarluaskan melalui media resmi mereka, Amaq.
Klaim itu berkembang usai pelaku, Omar Mateen diketahui sempat
menghubungi polisi melalui 911 sebelum melakukan serangan. Tujuannya,
karena pria berusia 29 tahun itu ingin menyampaikan dia telah berbaiat
ke ISIS.
Majalah Time
menyebut dalam jumpa pers yang dilakukan pada Minggu siang, pejabat
berwenang Biro Investigasi Federal (FBI) membenarkan adanya telepon yang
dilakukan Mateen ke polisi. Tetapi, dia tidak menyebut isi pembicaraan
di telepon.
Sementara, keterlibatan Mateen dalam aksi penembakan tersebut membuat
berbagai pihak terkejut, termasuk perusahaan keamanan tempatnya
bekerja, GS4. Mereka mengaku telah mempekerjakan Mateen sejak tahun
2007.
"Kami akan bekerja sama dengan otoritas berwenang," tutur perwakilan perusahaan.
Keluarga pun juga terkejut mendengar Mateen melakukan penembakan
massal dan menewaskan korban terbanyak dalam sejarah peristiwa serupa di
Amerika Serikat. Kepala Polisi Orlando, John Mina menyebut keluarga
telah meminta maaf kepada publik atas kejadian itu. Sementara, Ayah
Mateen, Seddique mengaku tidak tahu mengapa putranya bisa tega melakukan perbuatan itu.
"Saya tidak tahu mengapa dia melakukannya. Sekarang dia sudah
meninggal, jadi saya tidak bisa menanyakan hal itu kepadanya. Saya
berharap tahu sejak awal," ujar Seddique ketika diwawancarai NBC News.
Tetapi, dia menegaskan peristiwa penembakan massal itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama. Menurut
sang Ayah, baru-baru ini Mateen memiliki sentimen negatif terhadap kaum
homoseksual ketika melihat sepasang homoseksual tengah berciuman di
Miami.
"Ciuman itu terlihat di depan istri dan anaknya, sehingga dia menjadi marah," tutur Seddique.
Tetapi, penyidik masih terus melakukan penyelidikan. Kini, mereka masih meminta keterangan kepada anggota keluarga lainnya.
Sosok yang tidak stabil
Namun, beberapa orang yang mengenalnya justru ragu jika pria berusia
29 tahun itu memiliki sentimen negatif kepada kelompok homoseksual.
Kepala Pusat Islam di Fort Pierce, Syekh Shafeeq Rahman mengaku tidak pernah didatangi oleh Mateen dan ditanyakan mengenai isu homoseksual.
Tetapi, dia menyebut Mateen sulit memiliki teman. Biasanya dia
datang ke masjid pada malam hari dengan membawa putranya. Setelah
selesai salat, lalu dia pergi.
Komentar yang sama juga disampaikan oleh kakak kelas Mateen di
SMA, Samuel King. Dia mengaku masih berkomunikasi setelah keduanya lulus
pada tahun 2004 lalu. Saat itu, King sudah bekerja sebagai petugas
keamanan di Restoran Ruby Tuesday, sedangkan Mateen bekerja di toko
nutrisi, GNC yang terletak di sebuah pusat perbelanjaan.
Bahkan, kepada Mateen, King mengaku secara terbuka dirinya homo dan dia tidak mempermasalahkan hal tersebut.
"Dia tidak pernah menunjukkan rasa bencinya kepada saya dan
teman-teman saya. Bahkan, dia selalu tersenyum, menyapa dan mengatakan
'halo'" ujar King sambil menyebut ada yang berubah dalam diri Mateen
akhir-akhir ini.
Sementara, mantan istri Mateen, menyebut mantan suaminya itu
bukan sosok pria dengan emosi stabil. Bahkan, selama menikah, Mateen
kerap memukulnya hanya karena alasan sepele.
"Dia bisa saja kembali ke rumah lalu memukul saya, hanya karena
pakaian belum selesai dicuci," tuturnya kepada harian Washington Post.
Dia mengenang bertemu Mateen melalui dunia maya 8 tahun lalu, kemudian memutuskan pindah ke Florida untuk menikah.
Pernah diwawancarai FBI
Mateen diketahui pernah dimintai keterangan oleh petugas FBI sebanyak
dua kali. Menurut agen khusus yang bertanggung jawab dalam kasus itu,
Ron Hopper, Mateen dimintai keterangan sebanyak dua kali yakni tahun
2013 dan 2014.
Pada tahun 2013, dia dimintai keterangan karena diduga memiliki
kaitan dengan salah satu anggota kelompok radikal. Sedangkan, di tahun
2014, FBI kembali meminta keterangan karena Mateen diduga memiliki
hubungan dengan Moner Mohammad Abu-Salha, warga Amerika Serikat yang menjadi pelaku bom bunuh diri di Suriah.
Tetapi, saat itu FBI melepaskannya, karena Mateen jarang berkomunikasi dengan Salha dan dianggap bukan sebagai ancaman.
Hingga saat ini polisi masih mencari tahu motif penembakan tersebut.
Sementara, polisi mengoreksi jumlah korban tewas akibat aksi penembakan
massal. Jika sebelumnya mereka menyebut jumlah korban 20 orang, maka
mereka mengklarifikasi korban tewas ternyata lebih tinggi yakni mencapai
50 orang.
Total korban luka ikut bertambah menjadi 53 orang dan mereka sudah
dilarikan ke berbagai rumah sakit. Salah satu korban luka merupakan
petugas polisi.
Berdasarkan informasi dari Pemerintah Indonesia, tidak ada WNI yang menjadi korban tewas atau luka dari insiden tersebut.
"KJRI Houston akan terus memantau perkembangannya dan berkoordinasi
dengan otoritas setempat serta jaringan masyarakat Indonesia," Direktur
Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal dalam
keterangan tertulis pada Minggu, 12 Juni.
Sementara, Mateen tewas saat baku tembak dengan petugas polisi. Dia
diketahui membawa senapan tangan, senapan jenis AR 15 dan beberapa alat
mencurigakan. Alat tersebut ditemukan di jenazah, mobil yang dikendarai
Mateen dan di dalam klub.
Peristiwa teror domestik
Mateen datang ke klub tersebut sekitar pukul 02:00 waktu setempat.
Dia langsung masuk ke dalam klub, mengeluarkan senjata, dan melepaskan
tembakan ke arah atap klub serta ke pengunjung.
Mateen menembak ke arah pengunjung secara membabi buta. Sementara,
saat itu diperkirakan terdapat lebih dari 100 pengunjung. Selama
beberapa jam, sempat terjadi aksi penyanderaan di klub itu.
Situasi itu akhirnya berhasil diatasi ketika tim SWAT menyerbu ke
dalam klub sekitar pukul 05:00. Salah satu pengunjung klub yang
bersembunyi di dalam terus berkomunikasi dengan polisi di saat pelaku
lengah.
Sempat terdengar ledakan di dalam klub. Tetapi, menurut polisi
ledakan itu berasal dari alat pengalih perhatian yang digunakan untuk
menyelamatkan sandera dari dalam klub. Total terdapat sekitar 30 sandera
yang berhasil diselamatkan.
Dalam jumpa pers yang dilakukan pada Minggu pagi, juru bicara Biro
Investigasi Federal (FBI) meyakini pelaku memiliki keyakinan ekstrim dan
kemungkinan terkait dengan kelompok radikal Negara Islam dan Irak
Suriah (ISIS). Kendati begitu, mereka tetap membuka peluang adanya
petunjuk lainnya.
Tetapi, mereka tidak menampik bahwa aksi penyerangan itu tergolong rapih.
Sementara, polisi belum bisa mengkonfirmasi apakah pelaku beraksi
seorang diri atau berkoordinasi dengan pihak lain. Mereka memastikan
usai aksi tersebut tidak ada peningkatkan ancaman di Orlando dan area
sekitarnya.
"Ini merupakan sebuah kejadian yang saya nilai bisa dikategorikan
sebagai peristiwa teror domestik," ujar petugas polisi Jerry Demings
kepada harian The Guardian.
Presiden Barack Obama dilaporkan juga sudah mengetahui peristiwa
penembakan massal ini. Dia meminta agar terus dikabari mengenai
perkembangan kasus penembakan massal tersebut.
"Doa kami bersama keluarga dan orang-orang terkasih korban," demikian pernyataan Gedung Putih.
Ini peristiwa penembakan kedua yang terjadi di Orlando dalam satu
pekan. Sebelumnya pada Jumat malam, 10 Juni, penyanyi dan mantan
kontestan ajang pencari bakat The Voice, Christina Grimmie juga tewas
ditembak usai menggelar konser. Dia ditembak di bagian kepala ketika
tengah memberikan tanda tangan bagi 60 penggemarnya.
Tetapi, menurut keterangan pejabat berwenang yang dikutip kantor
berita Reuters, aksi penembakan yang menewaskan Grimmie tidak terkait
dengan peristiwa di Klub Pulse.
0 comments :
Post a Comment